Namanya Sali, gadis lugu yang cantik dari kampung kecil di
pinggiran kota. Wajahnya berbeda dari kebanyakan gadis yang tinggal di perkampungan
kumuh lainnya. Rambut pirang, dengan mata biru dan bulu mata yang lentik. Hidungnya
tinggi namun kecil, sedangkan bibirnya kecil tapi merah merekah bagai delima. Kulitnya
putih bersih, tubuhnya ramping bak selebritis ibu kota dengan postur badan
tinggi seperti orang eropa. Itu yang membuatnya terlihat begitu mencolok
dibanding anak-anak gadis lainnya.
Ibu Sali hanya penjual nasi uduk di pinggiran rel kereta. Pelanggannya
hanya sebagian dari pejalan kaki yang melintasi rel kereta, selebihnya itu
penduduk kampung dan para tunawisma juga pengemis-pengemis. Kadang untung
kadang buntung.
“bu..”
“iya nak”, jawab mak Dasmi sambil membalik gorengannya. Wajahnya
menyimpan lelah yang banyak. Keriputnya tidak bisa lagi disembunyikan.
Sali berjalan mendekati seseorang yang biasa ia panggil ibu, kemudian
memeluk tubuh kecil kurus yang sudah mulai keriput itu dari belakang. Tangan ibu
Dasmi mengusap kepala Sali dari depan. Terlihat begitu penuh kasih dan sayang.
“kapan yah bu kita kaya? Punya mobil, punya rumah yang bagus”
ucap Sali sambil masih dengan kepala di bahu Ibu Dasmi.
Mata ibu Dasmi sibuk memperhatikan gorengan yang sudah
matang. Mengangkatnya kepenyaringan bulat dan menaruhnya di rantang kecil. Mematikan
kompor gas dekilnya kemudian membalikkan badan kearah Sali.
“kita sudah kaya Sali” senyumnya tertarik saat bicara
berhadapan dengan Sali. Sambil kedua tangannya menyentuh pipi Sali yang lebih
tinggi.
“kalau kita kaya kita engga akan seperti ini bu, bangun
pagi-pagi sekali untuk berjualan nasi uduk setelah subuh. Kalau kita kaya kita
tidak akan kebingungan saat nasi tidak ada di bakul. Kalau kita kaya kita tidak
akan tinggal di rumah kontrakan kecil dilingkungan kumuh. Kalau kita kaya Sali bisa
terus sekolah bu..”
Ibu Dasmi diam sejenak. Seperti mencerna kata-kata anaknya
yang meletup-letup. Sungguh ini bukan yang pertama Sali bicara tentang
ketidakadilan hidup. Biasanya setiap kali Sali mulai bermimpi untuk jadi orang
kaya ibunya hanya menganguk-anguk mendengarkan, sambil diam-diam mengamini
dalam hati.
“kamu ini siapa anakku?” ibu Dasmi angkat bicara. Setelah lama
diam menatap Sali.
“kamu ini siapa?” nadanya lebih tinggi dari sebelumnya. “kamu
hanya anak dari penjual nasi uduk di pinggir rel kereta. Yang setiap untungnya
tidak seberapa. Kita masih beruntung bisa makan kemarin, tapi apa pernah kamu
berpikir untuk besok? Bagi orang seperti kita mimpi itu tidak ada harganya. Hari
ini yang kita harus pikirkan adalah bagaimana berusaha agar besok bisa makan. Jangan bermimpi nak, aku mohon jangan” Ibu
Dasmi menundukkan pandangannya. Bola matanya penuh dengan air.
“apa orang seperti kita tidak boleh bermimpi?” Tanya Sali dengan
nada lemah. “kenapa ibu membentakku dengan begitu keras, apa aku salah bertanya
begitu. Aku hanya lelah hidup seperti ini bu. Tidak punya apapun”
“kau masih punya ibu nak” ibu Dasmi mengangkat kepala. Kemudian
menaikan kepala anaknya yang tertunduk lesu dengan tangan kanannya.
“dalam shalatku selalu ada namamu kusebut yang pertama. Dalam
shalatku aku ingin kau hidup bahagia. Dalam do’aku tak pernah lupa aku
panjatkan kepada tuhan kita tentangmu”
Air mata Sali tumpah. Kepalanya
diangkat menatap ibunya kemudian memeluknya penuh dengan kasih sayang.
“Terimakasih”
ucapnya sambil terisak “teruslah berdoa untukku bu”
**
“Ibu, aku sudah memiliki mobil. Aku sudah memiliki rumah
yang indah.” Ucapnya riang dengan senyum yang memancar. “kita bisa tinggal di rumah baruku yang
seperti istana bu, kita bisa kapan saja pergi menggunakan mobilku untuk
jalan-jalan. Ibu lihat kan bagaimana cantiknya anak ibu ini di tv, walaupun
dulu kita tidak memilikinya tapi sekarang di stasiun tv manapun ada aku bu.
Mimpiku terwujud bu. Do’amu terkabul bu” ucapnya lagi tak kalah riang dari
sebelumnya.
“bu….” Panggil Sali pada ibunya tercinta.
“kenapa kau pergi begitu cepat” lirihnya pelan di depan batu
nisan ibunya.
Komentar
Posting Komentar