Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Kumohon datanglah

Selamat pagi malam. Selamat malam pagi. Aku hanya ingin. . . Aku ingin bicara pada malam yang sering mendinginkan hati. Bersuara tiada henti. Aku ingin menyapa hangatnya peluk dan bercerita tentangku. Berbagi keluh kisah yang tak pernah habis itu. Aku ingin tau kemana dingin membawamu. Penasaranku hingga mati. Kumohon datanglah. . . Datanglah wahai jari-jari yang menggenggam. Aku ingin hangat perbincangan kita terekam. Bicara panjang soal cerahnya masa depan. Aku ingin. . . Kumohon datanglah. . . Datanglah wahai mata. Aku ingin ada yang memperhatikan langkahku. Menuntunku ditempat yg gelap ini. Karena aku takut tersesat. Kumohon datanglah. . . Datanglah wahai bahu yg kekar. Aku ingin ada sandaran. Aku ingin dibantu berdiri ketika lelah. Mengelap air di ujung mata yg tumpah. Kumohon datanglah. . . Datanglah wahai kamu masa depanku. Aku ingin segera diperbaiki langkah. Dibantu untuk berdoa dan sujud menghadapNya dibelakangmu. Mencium tanganmu setelahnya. Aku ingin diamin

Gigi Papah

Garis-garis di dahinya semakin hari semakin bertambah. Kapan aku memperhatikan itu?  Kulit wajahnya pun sedikit turun. Aku tak tau itu terjadi. Kulitnya menghitam semakin hari. Tampannya juga mulai luntur. Gagah fotonya kini tak nampak lagi. Hei.. aku ingat dulu. Saat kaki-kakiku kecil. Tubuh yang mungil. Si kecil yang rajin bertanya padamu. Aku sangat lucu bukan?  Kenapa aku baru sadar. Kau semakin tua sekarang. Hampir setengah abad beberapa tahun lagi. Sore ini ketika makan bersama, kita berbincang tentang banyak hal. Seperti biasa. Mungkin aku yang paling banyak bicara.  Makanannya habis. Kemudian kita bergurau tentang pertandingan bulutangkis di tv. Akhirnya dia menyadari, gigi nya patah. Ompong satu. Aku tertawa, memanggil ibu di luar yang berbincang dengan tetangga untuk masuk kepembicaraan kita. Giginya patah. Candaan baru keluarga. Di sela tawa kita, garis-garis di dahinya semakin terlihat. Ia menjadi tua. Tawaku berubah takut. Aku berharap ia men

Hujan di lantai delapan

Malam ini cuaca tak seberapa bagus, bau air dimana-mana. Hujan turun. Seperti biasa, waktu berputar 24 jam dalam sehari, berhitung tak pernah lelah. Menentukan cahaya dan gelap masuk sesuai jadwalnya.  Hujan hari ini sangat bahagia, ditemani kawan petir sesekali. Aku tak memiliki alasan, mungkin mereka tertawa melihat tingkah manusia yang semakin hari semakin kejam. Aku sempat lupa. Hujan juga berkawan angin. Kadang masuk kesela tulang di pinggiran jalan yang gelap. Merubah murung si tukang air panas yang tak laku, menjadi tawa penuh harap. Bias-bias lampu yang indah kemudian masuk melalui kaca. Kegelapan yang seharusnya menyelimuti cakrawara kini sirna karena cahaya. Makna apa yang kamu miliki kini? adakah yang bisa kau simpan? setidaknya dalam hati. Jangan percaya siapapun. Apalagi pada gelap yang hanya beri bias. Cukup hidup pada pedoman keyakinan, doa orang tua, dan simpanan masa depan.

Menyukai Pagi

Bagiku waktu selalu pagi. Diantara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiiring embun menggelanyut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi, malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan dan helaan nafas tertahan. Masalah ini bukan soal waktu, justru waktu akan mengkhianati semuanya. Semakin lama akan semakin sakit. Aku tidak tahu cerita selanjutnya. Tetapi sejak hari itu, malam-malam terasa lebih panjang oleh helaan nafas tertahan. Gerakan tubuh resah. Mimpi-mimpi buruk. Terbangun berkali-kali di tengah malam. Mencari pegangan di gelapnya kamar. Mendekap sesuatu. Tertunduk. Seolah-olah melihatnya, tapi ia sungguh tidak ada di sekitar. Seolah-olah mendengarnya, tapi ia sunggu

Cinta Bersemi Bagiku

Yang sesungguhnya terjadi, cinta bersemi bagiku di saat aku belajar mencintai diriku sendiri. Mungkin terdengar aneh, tapi itu benar. Seingatku, aku adalah si tukang bikin senang orang lain, selalu mengerjakan dan menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain. Jangan bicara keras-keras, jangan suarakan opinimu, duduk tegak, senyum. Hingga sampailah di titik saat hanya senyumku itu, senyum yang menjadi merek dagangku, yang menjadi satu-satunya kepunyaanku. Aku seperti bersembunyi di belakang senyumanku. Dengan cepat aku berubah dan tumbuh menjadi sesosok pribadi. Aku pasti khawatir orang-orang tidak menyukai berseminya bunga dalam diriku yang akan membentuk kepribadianku. Jadi, aku mundur dari pergaulan. Kesepian, kerinduan, kesedihan yang kurasakan waktu itu masih terasa menyengat sampai kini. Aku sangat mendamba kehadiran seseorang yang bisa merasakan betapa besar penderitaanku, tapi kenyataanya tak ada siapa-siapa. Aku ingin tangisku didengar, tapi semua orang terlalu terserap dalam

Sense Of A Flower

Aku mencium bau bunga, Darimana itu berasal? Tidak ada bunga di sini, Hanya ada kamu. Aku merasa baik. Hatiku damai. Terus menatapku seperti itu. Sepertiku, aku ingin melihatmu tersenyum. Meskipun aku belum tersenyum. Belum. Kumohon ajari aku, Aku ingin mempelajarinya Kamu tidak bisa belajar cinta dari buku-buku Kumohon bantu aku, karena orang itu adalah kamu. Aku ingin kamu tahu cinta. Apakah ada sesuatu yang lain.. Aku bisa lakukan untukmu. Aku ingin tahu, Katakan padaku.

Toko Buku

Kita pernah bertemu. Di sebuah toko buku. Berbincang seperti sudah saling mengenal jauh. Kemudian menarik senyum satu persatu. Aku perhatikan bentuk wajahmu diantara sela-sela buku. Mengintip malu-malu. Wajah yang merah seperti tertangkap basah. Mata yang ramah juga teduh mengajak aku bicara tanpa kata. Rambutnya sedikit panjang. Alis tebal. Hidung mancung dan bibir kecil tipis yang terlihat bawel. Tidak tampan. Tapi senyummu manis. Apa ini terlihat keterlaluan? mengingat seorang dirimu begitu jauh. Salah siapa yang menegur seorang tak dikenal di toko buku. Mengajak diskusi asal dengan modal "sendirian?" Mungkin salahku, menjawab pertanyaan asing terlalu cepat. Tapi ini kesalahanmu karena mengikuti langkah kakiku. Apa aku terlalu percaya diri untuk bilang kamu menyengaja. atau alasan karena datangmu juga sendirian. Jadi merasa sependerita dan sepenanggungan. Ini hanya sekali. Seperti ada sesuatu saat di toko buku. Berjalan seperti sepasang sepatu sambil bercengkrama. T

are you?

dan pada akhirnya kita berteman kembali. Berteman di dunia tanpa batas. Kadang saya tidak bisa hindari perasaan-perasaan lama yang pernah kita buat sendiri, saya mungkin terlalu malu-malu mengakuinya. Maklum saja jika menyangkut harga diri. Sebenarnya tak perlu di tanya kenapa ketika sebuah hubungan intens yang dilakukan dua orang tiba-tiba harus merenggang, ada banyak hal yang berubah diantara keduanya. Kadang lingkungannya juga berubah. Yah... meskipun jatuh cinta itu sudah biasa, tapi ketika perasaan cinta sudah tak terakui oleh keduanya pasti sakit rasanya. Tapi saya tidak lupa bahwa cinta adalah harga diri yang harus di usung tinggi. Meski kadang perasaan sakit harus dipendam sendiri, apalagi cuma cemburu yang menguras hati. Tak perlu kan saya mengucap maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahan. Beberapa waktu lalu saya sudah bulatkan tekad. Menatap masa depan dengan mantap sambil menggenggam cita-cita yang tak muat adalah tujuan. Membiarkan hati ini kosong dulu lalu menganggap

Rambut Panjang

Kita adalah rambut panjang dikepala manusia. Terurai beramai ramai dari atas kebawah. Menunggu tumbuh dari yang tidak ada menjadi sepanjang yang kamu suka. Pilihannya terserah.... Ingin pendek, sebahu, atau panjang sepunggung. Masalah panjangnya tergantung dari yang punya kepala. Tapi jangan sampai lupa, keputusan paling utama adalah pencukur. Kita adalah rambut manusia. Dijaga dan dilindungi terserah oleh yang memiliki. Menjadi lembut dan  jatuh bukan urusan pencukur atau penjaga salon tapi kemampuan uang yang bicara. Kita adalah rambut panjang. Pembeda dari wanita dan pria yang sebaya. Menjaga rambut seperti kehidupan. Dibiarkan salah tapi dipangkas malah melanggar syariah. Menjaga rambut seperti menjaga perawan. Diikat menjadi rusak perlahan tapi di gerai malah menggangu penglilhatan.

Mari Bercerita

Kini semua tak lagi sama. Telah lama aku berpikir bahwa aku tak pernah bisa hidup tanpa cahaya. Tapi ketika satu persatu cahaya itu padam aku tak bisa apa-apa.  Tak lagi ada nafas yang membuatnya bergerak seirama, seperti sepasang tangan yang mendampingi kaki untuk selalu jalan teratur. Kemudian berhenti lalu tak bergerak sama sekali.  Pada akhirnya aku hanya akan membaca setiap langkah yang dibuat. Tanpa berusaha mendampingi kaki-kaki itu dengan senyum. Pada akhirnya aku tak pernah berani bicara, meski mulut penuh dengan kata-kata.

Raisa - LDR

Ku teringat dalam lamunan Rasa sentuhan jemari tanganmu Ku teringat walau telah pudar Suara tawamu, sungguh ku rindu Tanpamu langit tak berbintang Tanpamu hampa yang ku rasa Seandainya jarak tiada berarti Akan ku arungi  ruang  dan waktu dalam sekejap saja Seandainya sang waktu dapat mengerti Takkan  ada rindu yang terus mengganggu Kau akan kembali bersamaku Ku teringat walau telah pudar Suara tawamu, sungguh ku rindu Tanpamu langit tak berbintang Tanpamu hampa yang ku rasa Seandainya jarak tiada berarti Akan ku arungi ruang dan waktu  dalam  sekejap saja Seandainya sang waktu dapat mengerti Takkan ada rindu yang terus  mengganggu Kau akan kembali bersamaku Terbit dan tenggelamnya matahari Membawamu lebih dekat  Denganmu langitku berbintang Denganmu sempurna ku rasa Seandainya jarak tiada berarti Akan ku arungi ruang dan waktu dalam sekejap  saja Seandainya sang waktu dapat mengerti Takkan ada rindu  yang  terus mengganggu Kau akan kembali bersamaku

Tentang Sali

Namanya Sali, gadis lugu yang cantik dari kampung kecil di pinggiran kota. Wajahnya berbeda dari kebanyakan gadis yang tinggal di perkampungan kumuh lainnya. Rambut pirang, dengan mata biru dan bulu mata yang lentik. Hidungnya tinggi namun kecil, sedangkan bibirnya kecil tapi merah merekah bagai delima. Kulitnya putih bersih, tubuhnya ramping bak selebritis ibu kota dengan postur badan tinggi seperti orang eropa. Itu yang membuatnya terlihat begitu mencolok dibanding anak-anak gadis lainnya. Ibu Sali hanya penjual nasi uduk di pinggiran rel kereta. Pelanggannya hanya sebagian dari pejalan kaki yang melintasi rel kereta, selebihnya itu penduduk kampung dan para tunawisma juga pengemis-pengemis. Kadang untung kadang buntung. “bu..” “iya nak”, jawab mak Dasmi sambil membalik gorengannya. Wajahnya menyimpan lelah yang banyak. Keriputnya tidak bisa lagi disembunyikan. Sali berjalan mendekati  seseorang yang biasa ia panggil ibu, kemudian memeluk tubuh kecil kurus yang sudah mul