Langsung ke konten utama

Cinta Bersemi Bagiku

Yang sesungguhnya terjadi, cinta bersemi bagiku di saat aku belajar mencintai diriku sendiri. Mungkin terdengar aneh, tapi itu benar. Seingatku, aku adalah si tukang bikin senang orang lain, selalu mengerjakan dan menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain. Jangan bicara keras-keras, jangan suarakan opinimu, duduk tegak, senyum. Hingga sampailah di titik saat hanya senyumku itu, senyum yang menjadi merek dagangku, yang menjadi satu-satunya kepunyaanku. Aku seperti bersembunyi di belakang senyumanku.

Dengan cepat aku berubah dan tumbuh menjadi sesosok pribadi. Aku pasti khawatir orang-orang tidak menyukai berseminya bunga dalam diriku yang akan membentuk kepribadianku. Jadi, aku mundur dari pergaulan. Kesepian, kerinduan, kesedihan yang kurasakan waktu itu masih terasa menyengat sampai kini. Aku sangat mendamba kehadiran seseorang yang bisa merasakan betapa besar penderitaanku, tapi kenyataanya tak ada siapa-siapa. Aku ingin tangisku didengar, tapi semua orang terlalu terserap dalam problema mereka masing-masing. Di atas segalanya, aku ingin di cintai. Oh.. tentu ada banyak orang yang mencintaiku. Keluarga dan teman-temanku. Tapi kurasa, aku mencari seseorang yang dapat dengan tulus mengenal dan memahamiku, mendampingiku sebagai tempat bersandar bila saat-saat buruk tiba.

Sesudah melewati luka hati, akhirnya kutemukan juga orang itu, sosok yang kubutuhkan. Suatu pagi menjelang keluar rumah, sekilas kutatap cermin dan aku diterpa sebuah pemikiran bahwa sebelum aku menggantung diri pada orang lain demi kebahagiaan dan rasa penghargaa terhadap diriku sendiri, aku tak akan pernah berbahagia. Saat itulah kusadari, aku tak perlu bersembunyi dibalik senyuman. Tak ada salahnya merasa sedih, atau khawatir, atau takut. Dan tak ada salahnya luruh dan menangis bila memang perlu. Aku tak harus sempurna. Aku cuma harus jujur saja pada diriku sendiri.
Semuanya memang tidak berubah dalam semalam, tapi aku terus berupaya. Aku belajar setiap hari bahwa semakin aku menyayangi diriku sendiri, semakin bereslah hal-hal lain dalam hidup ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan di lantai delapan

Malam ini cuaca tak seberapa bagus, bau air dimana-mana. Hujan turun. Seperti biasa, waktu berputar 24 jam dalam sehari, berhitung tak pernah lelah. Menentukan cahaya dan gelap masuk sesuai jadwalnya.  Hujan hari ini sangat bahagia, ditemani kawan petir sesekali. Aku tak memiliki alasan, mungkin mereka tertawa melihat tingkah manusia yang semakin hari semakin kejam. Aku sempat lupa. Hujan juga berkawan angin. Kadang masuk kesela tulang di pinggiran jalan yang gelap. Merubah murung si tukang air panas yang tak laku, menjadi tawa penuh harap. Bias-bias lampu yang indah kemudian masuk melalui kaca. Kegelapan yang seharusnya menyelimuti cakrawara kini sirna karena cahaya. Makna apa yang kamu miliki kini? adakah yang bisa kau simpan? setidaknya dalam hati. Jangan percaya siapapun. Apalagi pada gelap yang hanya beri bias. Cukup hidup pada pedoman keyakinan, doa orang tua, dan simpanan masa depan.

wanita penyeduh kopi

sebanyak kata yang pernah diucapkan olehnya, sebanyak kata yang kau dengar dari bibirnya mata, wajah, senyum dan rambutnya yang selalu tersapu angin hingga menutupi pelipisnya sampai gerah cuma itu yang bisa aku ingat. cuma itu yang aku tau apa kamu ingat kata-kata terakhirmu yang kau ucap diujung teleponku malam itu. begitu hambar, begitu lucu, begitu menggemaskan. jika kau sudi akan aku ulangi. tapi tak apa. aku ini wanita yang ada dipikiranmu. jadi selama kau anggap tidak mengapa aku pasti akan sama. mungkin bagi Tuhanku, dicukupkan waktuku bersamamu. kalau kata Tuhanmu bagaimana? pernahkah kau bertanya? jangan sebut ini berakhir sayang, bilang pada mereka aku baru saja mengenalmu. aku rindu kata-kata penuh pemikiran darimu. aku rindu cinta-cinta yang terselip dalam buku-buku sejarah milikmu. aku rindu dekap mata yang selalu membuatku betah bersama. aku rindu genggam tangan yang menjagaku dari pelarianmu untuk Tuhanku. aku rindu. apa ada yang ingin kamu tau dari aku? s...

Toko Buku

Kita pernah bertemu. Di sebuah toko buku. Berbincang seperti sudah saling mengenal jauh. Kemudian menarik senyum satu persatu. Aku perhatikan bentuk wajahmu diantara sela-sela buku. Mengintip malu-malu. Wajah yang merah seperti tertangkap basah. Mata yang ramah juga teduh mengajak aku bicara tanpa kata. Rambutnya sedikit panjang. Alis tebal. Hidung mancung dan bibir kecil tipis yang terlihat bawel. Tidak tampan. Tapi senyummu manis. Apa ini terlihat keterlaluan? mengingat seorang dirimu begitu jauh. Salah siapa yang menegur seorang tak dikenal di toko buku. Mengajak diskusi asal dengan modal "sendirian?" Mungkin salahku, menjawab pertanyaan asing terlalu cepat. Tapi ini kesalahanmu karena mengikuti langkah kakiku. Apa aku terlalu percaya diri untuk bilang kamu menyengaja. atau alasan karena datangmu juga sendirian. Jadi merasa sependerita dan sepenanggungan. Ini hanya sekali. Seperti ada sesuatu saat di toko buku. Berjalan seperti sepasang sepatu sambil bercengkrama. T...