Yang sesungguhnya terjadi, cinta bersemi bagiku di saat aku belajar mencintai diriku sendiri. Mungkin terdengar aneh, tapi itu benar. Seingatku, aku adalah si tukang bikin senang orang lain, selalu mengerjakan dan menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain. Jangan bicara keras-keras, jangan suarakan opinimu, duduk tegak, senyum. Hingga sampailah di titik saat hanya senyumku itu, senyum yang menjadi merek dagangku, yang menjadi satu-satunya kepunyaanku. Aku seperti bersembunyi di belakang senyumanku.
Dengan cepat aku berubah dan tumbuh menjadi sesosok pribadi. Aku pasti khawatir orang-orang tidak menyukai berseminya bunga dalam diriku yang akan membentuk kepribadianku. Jadi, aku mundur dari pergaulan. Kesepian, kerinduan, kesedihan yang kurasakan waktu itu masih terasa menyengat sampai kini. Aku sangat mendamba kehadiran seseorang yang bisa merasakan betapa besar penderitaanku, tapi kenyataanya tak ada siapa-siapa. Aku ingin tangisku didengar, tapi semua orang terlalu terserap dalam problema mereka masing-masing. Di atas segalanya, aku ingin di cintai. Oh.. tentu ada banyak orang yang mencintaiku. Keluarga dan teman-temanku. Tapi kurasa, aku mencari seseorang yang dapat dengan tulus mengenal dan memahamiku, mendampingiku sebagai tempat bersandar bila saat-saat buruk tiba.
Sesudah melewati luka hati, akhirnya kutemukan juga orang itu, sosok yang kubutuhkan. Suatu pagi menjelang keluar rumah, sekilas kutatap cermin dan aku diterpa sebuah pemikiran bahwa sebelum aku menggantung diri pada orang lain demi kebahagiaan dan rasa penghargaa terhadap diriku sendiri, aku tak akan pernah berbahagia. Saat itulah kusadari, aku tak perlu bersembunyi dibalik senyuman. Tak ada salahnya merasa sedih, atau khawatir, atau takut. Dan tak ada salahnya luruh dan menangis bila memang perlu. Aku tak harus sempurna. Aku cuma harus jujur saja pada diriku sendiri.
Semuanya memang tidak berubah dalam semalam, tapi aku terus berupaya. Aku belajar setiap hari bahwa semakin aku menyayangi diriku sendiri, semakin bereslah hal-hal lain dalam hidup ini.
Dengan cepat aku berubah dan tumbuh menjadi sesosok pribadi. Aku pasti khawatir orang-orang tidak menyukai berseminya bunga dalam diriku yang akan membentuk kepribadianku. Jadi, aku mundur dari pergaulan. Kesepian, kerinduan, kesedihan yang kurasakan waktu itu masih terasa menyengat sampai kini. Aku sangat mendamba kehadiran seseorang yang bisa merasakan betapa besar penderitaanku, tapi kenyataanya tak ada siapa-siapa. Aku ingin tangisku didengar, tapi semua orang terlalu terserap dalam problema mereka masing-masing. Di atas segalanya, aku ingin di cintai. Oh.. tentu ada banyak orang yang mencintaiku. Keluarga dan teman-temanku. Tapi kurasa, aku mencari seseorang yang dapat dengan tulus mengenal dan memahamiku, mendampingiku sebagai tempat bersandar bila saat-saat buruk tiba.
Sesudah melewati luka hati, akhirnya kutemukan juga orang itu, sosok yang kubutuhkan. Suatu pagi menjelang keluar rumah, sekilas kutatap cermin dan aku diterpa sebuah pemikiran bahwa sebelum aku menggantung diri pada orang lain demi kebahagiaan dan rasa penghargaa terhadap diriku sendiri, aku tak akan pernah berbahagia. Saat itulah kusadari, aku tak perlu bersembunyi dibalik senyuman. Tak ada salahnya merasa sedih, atau khawatir, atau takut. Dan tak ada salahnya luruh dan menangis bila memang perlu. Aku tak harus sempurna. Aku cuma harus jujur saja pada diriku sendiri.
Semuanya memang tidak berubah dalam semalam, tapi aku terus berupaya. Aku belajar setiap hari bahwa semakin aku menyayangi diriku sendiri, semakin bereslah hal-hal lain dalam hidup ini.
Komentar
Posting Komentar