Langsung ke konten utama

22 Januari


‘Sulit menunggu sesuatu yang kamu tahu tak akan terjadi ,
 tapi lebih sulit berhenti menunggu
karena kamu tahu itu hal yang kamu inginkan.’
**
            Tara menggenggam erat jemari Noval, seakan- akan esok hari mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Ia melirik kearah tangan kanan kekasihnya yang sudah menggerek sebuah koper besar. Lalu Tara menatap bandara yang terlihat megah dihadapan nya, sekali lagi ia menatap Noval memohon.
            Tapi hanya ada segurat senyum diwajah pria itu. Ia seolah tak mau mengerti perasaan Tara dan akan melanjutkan niat nya, ditarik nya Tara memasuki bandara itu. Lalu mereka duduk diruang tunggu.
            Dibanding Noval , Tara terlihat lebih gusar. Ia benar-benar ingin menghilangkan hari ini, tak rela rasanya hal ini akan terjadi.
“kamu bilang mau kemana? aku lupa, mungkin saja temanku ada yang bertanya”
“Abudabi, Tara.”, Noval tersenyum lebar “kenapa kamu gugup begitu ?” Noval menatap Tara dalam.
            Tara menggeleng. Noval termasuk pria penyabar. Sepanjang perjalanan tadi, sudah berulang kali Tara menanyakan tujuannya. Tidak mungkin wanita itu tak mengingat nya, bahkan dari satu bulan yang lalu Noval juga sudah memberitahunya.
            Suara operator memanggil penumpang untuk penerbangan menuju Abudabi. Noval berdiri dan hendak melangkah pergi, tapi Tara menahannya. Ketika Noval berbalik ia menemukan Tara yang sudah menangis kencang.
            Ia menghela nafas panjang, dan mendekap Tara. Awalnya ia tidak mau menangis, tapi melihat Tara yang begitu menyedihkan Noval luluh juga. Tapi Noval enggan untuk membuat suasana menjadi lebih buruk.
            Noval mencengkram bahu Tara keras. Dengan mantap ia menatap Tara yang masih berlinangan air mata itu.
“Hanya tiga tahun, Tara. Kita masih bisa berhubungan lewat dunia maya , jangan buat ini jadi sulit”, yakin Noval.
“Aku hanya sedih , Noval”
“Baik, tiga tahun lagi tunggu aku disini. Di tanggal yang sama, waktu yang sama, ok?”
            Tara mengangguk. Ia memperhatikan punggung Noval yang semakin lama tak terlihat, limabelas menit kemudian pesawat yang ditumpangi Noval lepas landas. Tiga tahun ! aku pasti bisa !!
**
            Waktu begitu cepat berlalu, tapi tidak bagi Tara. Tiga tahun terasa sangat panjang, dan hari terasa tidak ada habisnya. Karena tidak ada Noval disampingnya. Pria itu berdusta, sejak seminggu ia berangkat ke Abudabi ia tak pernah menghubungi Tara seperti yang dijanjikannya.
            Tara merapikan beberapa buku yang berserakan di perpustakaan itu. Enambelas bulan yang lalu ia menjadi pegawai di salah satu perpustakaan ternama. Membaca bisa menjauhkan nya dari rasa bosan karena menunggu.
            Dilihatnya sebuah tempat yang lenggang, ia berjalan kearah nya. Perpustakaan itu dua tingkat, dan kini ditingkat dua ia bisa merasakan angin yang berhembus melalui jendela yang terbuka itu.
            Rambutnya menari-nari mengikuti gerakan angin. Ia mengerang keras, geram sendiri karena sampai sekarang ia tidak mendapat kabar sedikitpun dari Noval. Tara menyerah untuk berpikir mengapa Noval tak juga menghubunginya, ia kembali ke mejanya. Menunggu para pengunjung datang.
“Benarkah? tanggal 21 itu tanggal yang baik lho … semoga langgeng”
            Tara terkesiap mendengar perbincangan dua orang gadis diujung meja sana. Ia menatap kedua orang itu serius, tapi mereka berdua malah menjadi kikuk karena berpikir mengganggu ketenangan.
            Memang mengganggu ketenangan, terutama ketenangan Tara. Diambil Tara kalender meja disampingnya, disana sebuah tanggal sudah dibulatkannya. Besok adalah tanggal 22 Januari, berarti tepat hari esok Noval akan kembali ke Indonesia. Secercah harapan perlahan kembali menghampirinya.
**
            Tara sudah berdesak-desakan dengan orang banyak ditempat kedatangan dalam negeri. Ia mencari tempat dimana ia bisa melihat Noval dari segala sudut. Walau Tara tahu, Noval datang sekitar pukul empat sore tapi ia sudah datang sejak pagi. Ia terlalu semangat, mungkin saja Noval datang lebih awal. Tapi tidak, sepertinya Noval akan datang tepat pada waktunya.
            Jam ke jam pun berlalu, kegelapan telah menguasi langit. Tapi sosok Noval tidak muncul juga, riasan Tara mulai luntur karena terlalu lama menunggu.
            Tara berjongkok dan memeluk kakinya sendiri. Matanya tak ia lepaskan dari pintu kedatangan itu, walau ia lelah tak akan pernah ia biarkan melewati saat-saat Noval kembali.

**
Kenapa kau tidak kembali ?
            Benak Tara terus berfikir, ini sudah lewat lima tahun dari waktu yang dijanjikan oleh Noval. Berarti delapan tahun lamanya ia setia menunggu, tiap sore Tara masih rutin ke Bandara. Menunggu Noval datang, jika sudah malam ia akan kembali kerumah dengan kekecewaan.
            Menyesakan memang, tapi harus bagaimana lagi? tubuhnya bergerak sendiri untuk menjemput sang kekasih yang tidak pasti akan datang. Perasaannya memberontak keras, jika ia berpikir untuk mengakhiri penantian panjangnya. Dirinya masih membutuhkan seorang Noval.
“Tara !”
            Ia berbalik kearah suara itu. Adji, rekan satu kerjanya berlari-lari kecil menghampirinya. Pria itu terlihat sekali mempunyai rasa yang berbeda pada Tara. Terlihat dari caranya menatap dan bicara kepada Tara, begitu tulus.
            Adji juga tahu betul, kegiatan Tara disetiap sorenya. Baru saja Tara pulang dari bandara, ia pulang lebih awal karena ada acara nanti malam.
            Tara menatap Adji penuh, sepertinya Adji baru saja pulang dari perpustakaan. Pakaian nya masih sama seperti terakhir kali Tara tinggalkan.
“Ada apa , dji? tumben, sampai jemput aku segala”, Tanya Tara keheranan.
“lagi nggak ada kerjaan. Karena aku tau kamu pasti kesini, ya sudahlah…”
            Wanita itu mengangguk pelan. Tara bukan nya tidak tahu kalau Adji menyukainya, tapi karena Tara tahu. Ditolak berulang kalipun Adji akan terus mengejarnya.
            Tara juga tidak pernah meminta Adji untuk berhenti menyukainya. Karena cinta itu milik seseorang, tidak sepantasnya kita berkehendak untuk menghentikan perasaan itu. Bertepuk sebelah tangan sekalipun, tak akan pernah ada undang-undang yang menghukum rasa itu.
**
            Adji meletakan ranselnya dan segera menghampiri Tara yang tengah memeriksa rak-rak buku dipojok perpustakaan.
“hai ,Tara !” sapa Adji langsung “sibuk , ya ?”
“emang nya kamu nggak sibuk?”
“Tara, nanti malam kamu datang kan? ke acara pernikahan Laras…”
“oh, pengunjung tetap kita ya? sekarang tanggal berapa?”
“22 januari 2013, lengkap kan ?”
            Tara berbalik. Ia menatap jam dinding, pukul dua siang. Tanpa membuang waktu ia menyabet tas-nya dan berlari menuju bandara. Adji menarik nafas berat sekali, seharusnya tidak perlu ku juwab sesal Adji.
**
            Mata Tara kembali menyelidik, kali ini Tara lebih siaga dari hari-hari sebelumnya. Ia menggenggam tangannya sendiri, jantungnya berdegup kencang. Ia sangat gugup dari sebelumnya.
            Semoga hari ini doanya di amini waktu. Ia ingin bertemu dengan Noval, tak terhitung sudah rasa rindunya pada pria itu.
            Adji yang sejak tadi menemani Tara hanya bisa menyandarkan diri di salah satu pilar bandara, tidak pernah dibayangkan Adji seberapa jenuh Tara menunggu pria sialan itu. Kenapa wanita sebaik Tara harus dicampakan begitu saja? kenapa Tara terus mempertahankan seseorang yang tak menepati janjinya?
            Ketika memikirkan betapa bodohnya seorang Noval, Adji akan kesal sendiri. Ia tak sabar dan segera menarik Tara pulang.
**
            Akhirnya, Tara setuju untuk datang ke acara pernikahan itu bersama Adji. Pria itu bahagia, meski harus dilandasi alasan pernikahan orang lain tapi untuk pertama kalinya Tara setuju jalan bersamanya.
“Adji, sebelum kepernikahan laras. Antarkan aku ke bandara dulu, siapa tau pesawat Noval datang terlambat”
“Sampai kapan Tara?, kamu mau hidup di dunia mimpi? kalau Noval emang cinta kamu, dari awal dia pasti kabarin kamu …”
            Tara membeku, otaknya mencerna kata-kata Adji. Tapi batinnya masih yakin, bahwa ia akan bertemu Noval. Entah kapan, tapi pasti bisa.
            Adji menariknya masuk ke dalam rumah kokoh itu. Dari undangan yang tertera memang bukan resepsi formal layak nya pernikahan lainnya. Hanya sebuah garden party. Setelah menemukan si pemeran utama malam ini, Adji segera berarah kearahnya.
“Adji! Tara! aku kira kalian nggak hadir”, Laras menyambut mereka gembira.
“selamat ya, Laras. Ini bingkisan kecil dari aku sama Adji, jangan lihat isinya ya…”
“kalian jadi repot, cukup dateng aja aku udah bahagia”
            Tara menunduk lemah. Kelihatannya ia masih terpuruk dengan kata-kata Adji tadi. Jujur, Adji juga merasa bersalah. Ia sudah tahu seberapa rapuhnya Tara, tapi Adji  malah semakin mematahkan semangat hidup wanita itu.
“Adji, Tara, ini suami ku…”
            Kedua orang itu mendongak. Adji terkejut, karena pria yang ada dihadapan nya sempurna bukan main. Ia tampan dan gagah. Tara juga terkejut, tapi tidak untuk mengagumi kesempurnaan suami Laras.
            Sepertinya do’a nya benar-benar terkabul. Tara sekarang tahu seberapa baik tuhan, sehingga megabulkan segala do’anya. Tara rasa selama ini ia salah berdoa. Seharusnya ia tidak hanya meminta dipertemukan dengan Noval, tapi bertemu dengan Noval yang masih mencintainya.
            Tara menitikan airmata. Bagai terhantam batu besar, dan terjerumus kedalam jurang tanpa dasar. Noval, delapan tahun yang lalu ia jumpai sebagai kekasih nya. Kini berdiri tegak, menyandang gelar suami orang.
            Batinnya runtuh merasakan perih yang berkecamuk. Merasakan penyesalan terdalam, karena penantian nya selama ini berakhir sia-sia.
“maafkan aku, Tara”, Noval membuka mulut lebih dulu.
            Tara mengangguk cepat, ia membekap mulutnya kuat-kuat. Agar isakan nya tidak terdengar luas dan mengacaukan pesta. Laras dan Adji hanya bisa mematung, memperhatikan kedua orang itu bertingkah.
            Dengan langkah yang berat Tara  membawa dirinya pergi , cinta dihatinya terkubur lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan di lantai delapan

Malam ini cuaca tak seberapa bagus, bau air dimana-mana. Hujan turun. Seperti biasa, waktu berputar 24 jam dalam sehari, berhitung tak pernah lelah. Menentukan cahaya dan gelap masuk sesuai jadwalnya.  Hujan hari ini sangat bahagia, ditemani kawan petir sesekali. Aku tak memiliki alasan, mungkin mereka tertawa melihat tingkah manusia yang semakin hari semakin kejam. Aku sempat lupa. Hujan juga berkawan angin. Kadang masuk kesela tulang di pinggiran jalan yang gelap. Merubah murung si tukang air panas yang tak laku, menjadi tawa penuh harap. Bias-bias lampu yang indah kemudian masuk melalui kaca. Kegelapan yang seharusnya menyelimuti cakrawara kini sirna karena cahaya. Makna apa yang kamu miliki kini? adakah yang bisa kau simpan? setidaknya dalam hati. Jangan percaya siapapun. Apalagi pada gelap yang hanya beri bias. Cukup hidup pada pedoman keyakinan, doa orang tua, dan simpanan masa depan.

wanita penyeduh kopi

sebanyak kata yang pernah diucapkan olehnya, sebanyak kata yang kau dengar dari bibirnya mata, wajah, senyum dan rambutnya yang selalu tersapu angin hingga menutupi pelipisnya sampai gerah cuma itu yang bisa aku ingat. cuma itu yang aku tau apa kamu ingat kata-kata terakhirmu yang kau ucap diujung teleponku malam itu. begitu hambar, begitu lucu, begitu menggemaskan. jika kau sudi akan aku ulangi. tapi tak apa. aku ini wanita yang ada dipikiranmu. jadi selama kau anggap tidak mengapa aku pasti akan sama. mungkin bagi Tuhanku, dicukupkan waktuku bersamamu. kalau kata Tuhanmu bagaimana? pernahkah kau bertanya? jangan sebut ini berakhir sayang, bilang pada mereka aku baru saja mengenalmu. aku rindu kata-kata penuh pemikiran darimu. aku rindu cinta-cinta yang terselip dalam buku-buku sejarah milikmu. aku rindu dekap mata yang selalu membuatku betah bersama. aku rindu genggam tangan yang menjagaku dari pelarianmu untuk Tuhanku. aku rindu. apa ada yang ingin kamu tau dari aku? s...

Toko Buku

Kita pernah bertemu. Di sebuah toko buku. Berbincang seperti sudah saling mengenal jauh. Kemudian menarik senyum satu persatu. Aku perhatikan bentuk wajahmu diantara sela-sela buku. Mengintip malu-malu. Wajah yang merah seperti tertangkap basah. Mata yang ramah juga teduh mengajak aku bicara tanpa kata. Rambutnya sedikit panjang. Alis tebal. Hidung mancung dan bibir kecil tipis yang terlihat bawel. Tidak tampan. Tapi senyummu manis. Apa ini terlihat keterlaluan? mengingat seorang dirimu begitu jauh. Salah siapa yang menegur seorang tak dikenal di toko buku. Mengajak diskusi asal dengan modal "sendirian?" Mungkin salahku, menjawab pertanyaan asing terlalu cepat. Tapi ini kesalahanmu karena mengikuti langkah kakiku. Apa aku terlalu percaya diri untuk bilang kamu menyengaja. atau alasan karena datangmu juga sendirian. Jadi merasa sependerita dan sepenanggungan. Ini hanya sekali. Seperti ada sesuatu saat di toko buku. Berjalan seperti sepasang sepatu sambil bercengkrama. T...