Langsung ke konten utama

Obrolan Malam

Seperti biasa saja. Sepulang bekerja segera membasuh diri dengan mandi. Mencari yang tidak ada di rumah dan menanyakan segalanya yang tidak diketahui.
Setelah mandi aku biasanya duduk depan televisi. Menikmati sore yang beranjak di telan malam perlahan dengan makanan manis yang dibuat ibu sebelum magrib tadi.
Perbincangan hangat terjadi setiap hari di rumah ini. Rumah terindah yang dibuat ayah dan ibuku untuk membesarkan aku, kakakku, dan adik-adikku. Tidak besar memang. Namun nyaman dan tentram.
Aku meneteskan air mata menulis ini.
Sore ini perbincangan hangat seperti teh yang di buatkan ibuku sepulang aku bekerja, manis dan hangat. Itu mengapa aku selalu merindukan rumah dimanapun aku berada. Ayahku memulai perbincangannya, sebelumnya beliau menenggak kopi hitam miliknya dulu. Kemudian duduk disebelah adikku lalu bercengkrama.
Ayahku memang begitu, sikap hangatnya setiap hari membuat siapa saja rindu padanya. Pernah waktu itu beberapa kali aku tanyakan keberadaan ayahku pada ibu padahal aku tau ayah sedang tidur di kamar. Aku harap aku memiliki suami seperti ayahku. Dia ayah yang setia pada ibu. Menjaga dan membangun rumah tangga penuh dengan tanggung jawab, mengasihi ibuku dan aku juga anak-anaknya dengan perbuatannya. Aku pernah tertawa karena teman SMA ku dulu iri pada kedekatan aku dan keluargaku. Sempat aku bertanya kenapa ia iri padaku, kemudian ia menjawab bahwa yang membuatnya iri adalah perhatian ayahku yang di lihatnya setiap hari kepadaku. Ayahku memang orang yang penuh perhatian, ramah pada semua orang, mungkin terlihat perfeksionis karena selalu berpenampilan menarik walau umurnya sudah hampir 50. Teman sekolahku iri karena ayahku selalu menunggu aku naik mobil dan baru bisa berangkat pulang setelah melihat bis yang aku naiki berjalan, teman sekolahku juga iri karena ayahku menjemput aku disekolah jika aku menelponnya atau sering ayahku yang menawarkan diri untuk menjemputku duluan, Temanku iri ketika aku pulang malam kemudian telepon genggamku berdering beberapa kali menayakan aku dimana dan sedang apa lalu pulang kapan. hmmm... temanku iri padaku karena itu.
Seandainya temanku tau kalau ibuku juga bersikap seperti ayahku sebesar apa irinya dia padaku yah.

Aku sangat bersyukur padaMu ya Allah. Terimakasih telah memberikan Ibu dan Ayah seperti mereka, Terimakasih telah memberikan kakak dan adik-adik seperti mereka. Aku tau banyak hal yang tak dimiliki oleh orang lain dan aku memilikinya.
Ayahku bercerita tentang kegelisahannya menunggu malam sampai ke pagi sore ini. Aku mendengarnya dengan antusias, bukan karena berpura-pura. Tapi aku memang senang mendengarnya bercerita. Ayahku tidak bisa memejamkan matanya semalaman kemarin, dia ceritakan usahanya untuk terlelap yang begitu banyak tapi tidak ada yang berhasil. Ayahku bercerita, malam itu ia memikirkanku diwaktu kecil... Memikirkan akuuuuu! lagi-lagi aku.
Dia bilang disela penyakit insomnianya itu dia memikirkan putri pertamanya diwaktu kecil, bayangan aku diwaktu kecil sekelebat hadir di pikirannya. Bayangan aku dan Ibuku bercengkrama di rumah ini, bayangan wajah mungilku yang masih suka membuat jengkel ibu namun menggemaskan muncul. Aku hanya tersenyum mendengar ceritanya kali ini, meskipun banyak cerita yang membuatku terbahak atau malah menangis. Ayahku membayangkan cerita masa kecilku yang masih malas, dia bilang saat masih kecil aku ingin sekali bekerja membantu ibuku dan ayahku, dia bilang aku orang yang malas karena tidak pernah membantu ibu kemudian aku menjawabnya "saat aku sudah besar nanti aku akan bekerja untuk ibu". Itu yang ia bayangkan.
Bagaimana aku tidak menangis. Diantara malam ia masih membayangkan aku.

I LOVE YOU SO MUCH MY MOM, I LOVE YOU SO MUCH MY DAD

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan di lantai delapan

Malam ini cuaca tak seberapa bagus, bau air dimana-mana. Hujan turun. Seperti biasa, waktu berputar 24 jam dalam sehari, berhitung tak pernah lelah. Menentukan cahaya dan gelap masuk sesuai jadwalnya.  Hujan hari ini sangat bahagia, ditemani kawan petir sesekali. Aku tak memiliki alasan, mungkin mereka tertawa melihat tingkah manusia yang semakin hari semakin kejam. Aku sempat lupa. Hujan juga berkawan angin. Kadang masuk kesela tulang di pinggiran jalan yang gelap. Merubah murung si tukang air panas yang tak laku, menjadi tawa penuh harap. Bias-bias lampu yang indah kemudian masuk melalui kaca. Kegelapan yang seharusnya menyelimuti cakrawara kini sirna karena cahaya. Makna apa yang kamu miliki kini? adakah yang bisa kau simpan? setidaknya dalam hati. Jangan percaya siapapun. Apalagi pada gelap yang hanya beri bias. Cukup hidup pada pedoman keyakinan, doa orang tua, dan simpanan masa depan.

wanita penyeduh kopi

sebanyak kata yang pernah diucapkan olehnya, sebanyak kata yang kau dengar dari bibirnya mata, wajah, senyum dan rambutnya yang selalu tersapu angin hingga menutupi pelipisnya sampai gerah cuma itu yang bisa aku ingat. cuma itu yang aku tau apa kamu ingat kata-kata terakhirmu yang kau ucap diujung teleponku malam itu. begitu hambar, begitu lucu, begitu menggemaskan. jika kau sudi akan aku ulangi. tapi tak apa. aku ini wanita yang ada dipikiranmu. jadi selama kau anggap tidak mengapa aku pasti akan sama. mungkin bagi Tuhanku, dicukupkan waktuku bersamamu. kalau kata Tuhanmu bagaimana? pernahkah kau bertanya? jangan sebut ini berakhir sayang, bilang pada mereka aku baru saja mengenalmu. aku rindu kata-kata penuh pemikiran darimu. aku rindu cinta-cinta yang terselip dalam buku-buku sejarah milikmu. aku rindu dekap mata yang selalu membuatku betah bersama. aku rindu genggam tangan yang menjagaku dari pelarianmu untuk Tuhanku. aku rindu. apa ada yang ingin kamu tau dari aku? s...

Toko Buku

Kita pernah bertemu. Di sebuah toko buku. Berbincang seperti sudah saling mengenal jauh. Kemudian menarik senyum satu persatu. Aku perhatikan bentuk wajahmu diantara sela-sela buku. Mengintip malu-malu. Wajah yang merah seperti tertangkap basah. Mata yang ramah juga teduh mengajak aku bicara tanpa kata. Rambutnya sedikit panjang. Alis tebal. Hidung mancung dan bibir kecil tipis yang terlihat bawel. Tidak tampan. Tapi senyummu manis. Apa ini terlihat keterlaluan? mengingat seorang dirimu begitu jauh. Salah siapa yang menegur seorang tak dikenal di toko buku. Mengajak diskusi asal dengan modal "sendirian?" Mungkin salahku, menjawab pertanyaan asing terlalu cepat. Tapi ini kesalahanmu karena mengikuti langkah kakiku. Apa aku terlalu percaya diri untuk bilang kamu menyengaja. atau alasan karena datangmu juga sendirian. Jadi merasa sependerita dan sepenanggungan. Ini hanya sekali. Seperti ada sesuatu saat di toko buku. Berjalan seperti sepasang sepatu sambil bercengkrama. T...