Langsung ke konten utama

Terlalu Pagi

malam sudah lewat.
tapi kebanyakan enggan menyebutnya pagi.

wajah ini masih mengahadap ke arah kiblat dengan memangku sebuah benda mati bercahaya
menarikan jari yang sedari pagi giat bekerja
naik turun, kekanan kekiri, keatas kebawah membulatkan huruf-huruf yang ingin menjadi kata
sayang tarian jari tak memperlancar peredaran darah
tapi aku suka

kadang sesuatu yang melubangi hati susah untuk di ungkapkan
rangkaian kata yang sebenarnya ingin di ucapkan seolah membisu di rantai besi
tapi aku juga sulit menuliskannya
aku masih heran, sejauh ini dunia belum mengerti
atau aku yang harus mengikutinya?

jari ini telungkup.
berhenti.
kemudian terangkat sesekali untuk menekan salah satunya
namun yang terjadi adalah kembali telungkup.
apa yang salah?
apa barisan-barisan kata sebelumnya harus dibalas?
atau sengaja kudiamkan dan berpura-pura tidak tau.

kedua tangan akhirnya beranjak. tapi sayang bukan untuk menuliskan kalimat
keduanya menutup mata dan telinga.
tak mau mendengar dan tak mau membacanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan di lantai delapan

Malam ini cuaca tak seberapa bagus, bau air dimana-mana. Hujan turun. Seperti biasa, waktu berputar 24 jam dalam sehari, berhitung tak pernah lelah. Menentukan cahaya dan gelap masuk sesuai jadwalnya.  Hujan hari ini sangat bahagia, ditemani kawan petir sesekali. Aku tak memiliki alasan, mungkin mereka tertawa melihat tingkah manusia yang semakin hari semakin kejam. Aku sempat lupa. Hujan juga berkawan angin. Kadang masuk kesela tulang di pinggiran jalan yang gelap. Merubah murung si tukang air panas yang tak laku, menjadi tawa penuh harap. Bias-bias lampu yang indah kemudian masuk melalui kaca. Kegelapan yang seharusnya menyelimuti cakrawara kini sirna karena cahaya. Makna apa yang kamu miliki kini? adakah yang bisa kau simpan? setidaknya dalam hati. Jangan percaya siapapun. Apalagi pada gelap yang hanya beri bias. Cukup hidup pada pedoman keyakinan, doa orang tua, dan simpanan masa depan.

wanita penyeduh kopi

sebanyak kata yang pernah diucapkan olehnya, sebanyak kata yang kau dengar dari bibirnya mata, wajah, senyum dan rambutnya yang selalu tersapu angin hingga menutupi pelipisnya sampai gerah cuma itu yang bisa aku ingat. cuma itu yang aku tau apa kamu ingat kata-kata terakhirmu yang kau ucap diujung teleponku malam itu. begitu hambar, begitu lucu, begitu menggemaskan. jika kau sudi akan aku ulangi. tapi tak apa. aku ini wanita yang ada dipikiranmu. jadi selama kau anggap tidak mengapa aku pasti akan sama. mungkin bagi Tuhanku, dicukupkan waktuku bersamamu. kalau kata Tuhanmu bagaimana? pernahkah kau bertanya? jangan sebut ini berakhir sayang, bilang pada mereka aku baru saja mengenalmu. aku rindu kata-kata penuh pemikiran darimu. aku rindu cinta-cinta yang terselip dalam buku-buku sejarah milikmu. aku rindu dekap mata yang selalu membuatku betah bersama. aku rindu genggam tangan yang menjagaku dari pelarianmu untuk Tuhanku. aku rindu. apa ada yang ingin kamu tau dari aku? s...

Toko Buku

Kita pernah bertemu. Di sebuah toko buku. Berbincang seperti sudah saling mengenal jauh. Kemudian menarik senyum satu persatu. Aku perhatikan bentuk wajahmu diantara sela-sela buku. Mengintip malu-malu. Wajah yang merah seperti tertangkap basah. Mata yang ramah juga teduh mengajak aku bicara tanpa kata. Rambutnya sedikit panjang. Alis tebal. Hidung mancung dan bibir kecil tipis yang terlihat bawel. Tidak tampan. Tapi senyummu manis. Apa ini terlihat keterlaluan? mengingat seorang dirimu begitu jauh. Salah siapa yang menegur seorang tak dikenal di toko buku. Mengajak diskusi asal dengan modal "sendirian?" Mungkin salahku, menjawab pertanyaan asing terlalu cepat. Tapi ini kesalahanmu karena mengikuti langkah kakiku. Apa aku terlalu percaya diri untuk bilang kamu menyengaja. atau alasan karena datangmu juga sendirian. Jadi merasa sependerita dan sepenanggungan. Ini hanya sekali. Seperti ada sesuatu saat di toko buku. Berjalan seperti sepasang sepatu sambil bercengkrama. T...